3 (Tiga) by Alicia Lidwina Sebelum itu saja jelaskan kalau ini adalah karya pertama yang saya baca dari Alicia Lidwina, yang memberikan pengalaman luar biasa. Jujur, jauh dari sudut hati terdalam. Aneh sekali baca karya bertema seperti ini. Meski sudah satu-dua kali membaca cerita dengan tema serupa ada bumbu suicide di dalamnya. Tapi karya Alicia Lidwina ini beda, benar-benar beda. Alurnya maju-mundur, tapi enggak bikin pusing. Benar-benar ngalir. Enggak sekali dua kali, saya nangis jelek. Kalimat ini, atau blurb buku ini; “Selama seseorang masih memiliki sesuatu untuk diperjuangkan, dia tidak akan bunuh diri. Kecuali jika memang bunuh diri adalah satu-satunya cara mempertahankan apa yang dia perjuangkan.” Bikin bertanya-tanya, 'kan? Setelah membaca kurang-lebih 200 halaman. Saya jadi berpikir, kalau mereka-yang-kunci-utama-cita-cita-ini-adalah-Hashimoto-berpikir untuk membangun panti asuhan kenapa dia menyerah? Bahkan deposit yang mereka kumpulin sudah lumayan banyak...
Kalau ditanya, "Kenapa?" Jawabannya, "Aku hanya ingin." Ya, hari ini, "Aku ingin menuliskan segalanya. Tentangnya, si paling sempurna." Aku lebih suka menganggapnya manusia dalam halusinasiku. Karena bayanganku, atau mungkin hal apapun yang kulihat dari pandanganku terhadapnya terlalu perfect. Si paling-paling. Aku menamainya seperti itu, segala aspek yang ada dalam dirinya terlalu tertata, bahkan ada satu hari di mana aku mengganggapnya sebuah robot atau alien. "Mars atau pluto? Darimana pun kamu berasal, kurasa itu akan cocok-cocok saja. Karena kamu mampu melampaui fantasi siapapun tentang makhluk bernama cowok, Azel." Manusia yang selalu mengalah atas opini orang lain, dan tak pernah menyalahkan apapun pandangan 'seseorang' terhadap 'sesuatu'. Dia menerima, bukan berarti secara harfiah memakan apa saja yang dijulurkan orang-orang. Dia mengoreksi, mengambil yang benar dan membuang yang salah. Dialah yang menanamkan fakta bahwa...