Langsung ke konten utama

Si Paling

Kalau ditanya, "Kenapa?" Jawabannya, "Aku hanya ingin." Ya, hari ini, "Aku ingin menuliskan segalanya. Tentangnya, si paling sempurna."

Aku lebih suka menganggapnya manusia dalam halusinasiku. Karena bayanganku, atau mungkin hal apapun yang kulihat dari pandanganku terhadapnya terlalu perfect. 

Si paling-paling. Aku menamainya seperti itu, segala aspek yang ada dalam dirinya terlalu tertata, bahkan ada satu hari di mana aku mengganggapnya sebuah robot atau alien.

"Mars atau pluto? Darimana pun kamu berasal, kurasa itu akan cocok-cocok saja. Karena kamu mampu melampaui fantasi siapapun tentang makhluk bernama cowok, Azel."

Manusia yang selalu mengalah atas opini orang lain, dan tak pernah menyalahkan apapun pandangan 'seseorang' terhadap 'sesuatu'. Dia menerima, bukan berarti secara harfiah memakan apa saja yang dijulurkan orang-orang. Dia mengoreksi, mengambil yang benar dan membuang yang salah.

Dialah yang menanamkan fakta bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Tapi aku mengganggapnya seperti itu. Melampaui taraf semesta.

Orang-orang selalu mengungkapkan pendapatnya. Tentang Azel yang menurut mereka terlalu pasif, ditanyakan apa-dijawab apa. Tidak berani melanggar batas apapun untuk kemajukan sebuah hubungan.

Aku tersenyum sembari menggeleng-geleng tak percaya antara merasa lucu. Sebagai sahabat, aku pernah mengutarakan kegelisahan para perempuan itu, padanya. Jawabannya cukup simple. 

"Ca, apa bedanya obrolan kita dengan mereka jika kamu bedakan sekarang?" tanyanya, menunjuk salah satu pasangan yang duduk memojokkan diri. Pada salah satu kafe yang kami kunjungi setelah jam pulang kantor.

"Tidak ada obrolan, 'kan?" 

Dia mengesap secangkir caramel macchiato-nya yang telah berhenti mengeluarkan uap. Sudut bibirnya tertarik naik, "Ya. Semudah itu, dan lebih mudah lagi jika memulai percakapan. Entah canggung atau tidak, tiap orang punya jalan pikirnya tersendiri. Jika diam seiring pertemuan berlangsung siapa yang tidak mengira jika sosok yang ditemuinya adalah pendiam?"

"Bukannya kamu juga salah? Dengan tidak memiliki minat mencari topik pembicaraan?"

Azel memiringkan kepalanya. "Ya, kamu benar. Dan begitulah mengapa obrolan kita selalu berjalan lancar."

"Kamu mencari, aku menjawab."

***




Komentar